السلام عليكم... SAUDARA SAUDARI SEIMAN SETAQWA SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI,,, SEMOGA ISI BLOG INI BERMANFAAT,, JANGAN SUNGKAN UNTUK BERBAGI DENGAN MEMBERI KOMENTAR DI CATATAN PENGUNJUNG ATAUPUN DI BUKU TAMU.... INSYAALLOH AKAN BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA.. amin ya robbal alamin Download Athan (Azan) Software for your Computer And Download Mobile Athan (Azan) Software for your Cell Phone
RADIO ISLAMI
Date Conversion
Gregorian to Hijri Hijri to Gregorian
Day: Month: Year

Kirim SMS Gratis All Operator Indonesia

fomat--> ex;081234567890
Just try it!! I'm not sure :D

12 Mar 2011

Pentingnya Musyawarah

MUSYAWARAH                                               (1/2)
 
Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada
mulanya  bermakna  mengeluarkan  madu dari sarang lebah. Makna
ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang
dapat  diambil  atau  dikeluarkan  dari  yang  lain  (termasuk
pendapat).  Musyawarah  dapat  juga  berarti  mengatakan  atau
mengajukan   sesuatu.  Kata  musyawarah  pada  dasarnya  hanya
digunakan  untuk  hal-hal  yang  baik,  sejalan  dengan  makna
dasarnya.
 
Madu  bukan  saja  manis,  melainkan  juga  obat  untuk banyak
penyakit,  sekaligus  sumber  kesehatan  dan   kekuatan.   Itu
sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun.
 
Madu  dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah
mesti  bagaikan  lebah:  makhluk  yang   sangat   berdisiplin,
kerjasamanya   mengagumkan,   makanannya   sari  kembang,  dan
hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah  merusak.
Ia  takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun
dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan,  dan
demikian  pula  sifat  yang  melakukannya. Tak heran jika Nabi
Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
 
AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH
 
Ada  tiga  ayat  Al-Quran  yang   akar   katanya   menunjukkan
musyawarah.
 
a. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 233
 
     Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak
     mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan
     permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas
     keduanya.
 
Ayat ini  membicarakan  bagaimana  seharusnya  hubungan  suami
istri  saat  mengambil  keputusan  yang berkaitan dengan rumah
tangga dan anak-anak, seperti  menyapih  anak.  Pada  ayat  di
atas,  Al-Quran  memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga
persoalan-persoalan  rumah  tangga  lainnya)   dimusyawaraLkan
antara suami-istri.
 
b. Dalam surat Ali 'Imran (3): 159
 
     Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap
     lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau
     bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan
     menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
     maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
     bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu).
     Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad,
     bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
     orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
 
Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada  Nabi  Muhammad
Saw.  agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan
sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang  akan
dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada
setiap  Muslim,  khususnya  kepada   setiap   pemimpin,   agar
bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
 
c. dalam surat Al-Syura (42): 38, Allah menyatakan bahwa orang
mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih  baik  dan  kekal  di
sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu
adalah:
 
     Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka,
     melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan
     mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan
     mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami
     anugerahkan kepada mereka.
 
Ayat ketiga ini turun sebagai pujian  kepada  kelompok  Muslim
Madinah   (Anshar)   yang   bersedia  membela  Nabi  Saw.  dan
menyepakati  hal  tersebut  melalui  musyawarah  yang   mereka
laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat
ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan
musyawarah.
 
Dari  ketiga  ayat  di  atas  saja, maka sepintas dapat diduga
bahwa Al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup  terhadap
persoalan  musyawarah.  Namun dugaan tersebut akan sirna, jika
menyadari cara Al-Quran memberi petunjuk serta menggali  lebih
jauh kandungan ayat-ayat tersebut.
 
PETUNJUK AL-QURAN MENYANGKUT PERKEMBANGAN MASYARAKAT
 
Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-Quran yang rinci
lebih  banyak  tertuju  terhadap  persoalan-persoalan yang tak
terjangkau  nalar  serta  tak  mengalami   perkembangan   atau
perubahan.  Dari sini dipahami kenapa uraian Al-Quran mengenai
metafisika, seperti surga dan neraka, amat  rinci  karena  ini
merupakan  soal  yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal
mahram (yang terlarang  dikawini),  karena  ia  tak  mengalami
perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin
memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau  keluarga
dekat tertentu, demikian seterusnya.
 
Adapun   persoalan   yang  dapat  mengalami  perkembangan  dan
perubahan,  Al-Quran  menjelaskan  petunjuknya  dalam   bentuk
global   (prinsip-prinsip   umum),  agar  petunjuk  itu  dapat
menampung segala  perubahan  dan  perkembangan  sosial  budaya
manusia.
 
Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan
pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan  ciri  kondisi
sosial  budayanya,  harus  diterapkan pula dengan rincian yang
sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa
yang  berbeda,  apalagi  di  tempat  yang  lain pada masa yang
berlainan.
 
Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya.  Karena
itu pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat
singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja.
 
Jangankan  Al-Quran,  Nabi  Saw.   yang   dalam   banyak   ha1
menjabarkan    petunjuk-petunjuk    umum   Al-Quran,   periha1
musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak  juga
memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara
suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau --Abu Bakar,
Umar,  Utsman,  dan  Ali  r.  a.-- berbeda-beda di antara satu
dengan lainnya.
 
Demikianlah, Rasul Saw. tidak meletakkan petunjuk  tegas  yang
rinci  tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri
yang meletakkan  hukumnya,  ini  bertentangan  dengan  prinsip
syura   yang   diperintahkan   Al-Quran   --bukankah  Al-Quran
memerintahkan  agar  persoalan   umat   dibicarakan   bersama?
Sedangkan  apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan
sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku
--rincian  itu--  untuk  masa  sesudahnya. Bukankah Rasul Saw.
telah  memberi  kebebasan  kepada  umat  Islam  agar  mengatur
sendiri  urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim,
 
     "Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian."
 
Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad,
 
     "Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka
     kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan
     dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya."
 
Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha:
 
     Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan
     penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan
     kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk
     untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh
     orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai,
     untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap
     periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan
     masyarakat... Kita sering mengikat diri sendiri dengan
     berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian
     kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada
     akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita.
 
Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika  menafsirkan
surat Al-Nisa' (4): 59.
 
MUSYAWARAH DALAM AL-QURAN
 
Memang banyak persoalan yang  dapat  diambil  jawabannya  dari
ketiga  ayat musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban
tesebut merupakan pemahaman  para  sahabat  Nabi  atau  ulama.
Meskipun  ada  juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang
bersumber dari  Sunnah  Nabi  Saw.,  tetapi  petunjuk-petunjuk
tersebut   masih  dapat  dikembangkan  atau  tidak  sepenuhnya
mengikat.
 
Berbagai masalah yang dibahas para ulama  mengenai  musyawarah
antara  lain:  (a) orang yang diminta bermusyawarah; (b) dalam
hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan (c) dengan siapa
sebaiknya musyawarah dilakukan.
 
Sebelum  menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih
dahulu periu dikemukakan petunjuk yang  diisyaratkan  Al-Quran
mengenai  beberapa  sikap yang harus dilakukan seseorang untuk
mensukseskan  musyawarah.  Petunjuk-petunjuk  tersebut  secara
tersurat  ditemukan  dalam  surat  Ali  'Imran  ayat  159 yang
terjemahannya telah dikutip di atas.
 
Pada ayat itu disebutkan  tiga  sikap  yang  secara  berurutan
diperintahkan   kepada  Muhammad  Saw.  untuk  beliau  lakukan
sebelum datangnya perintah  bermusyawarah.  Penyebutan  ketiga
sikap  tersebut --menurut hemat penulis-- walaupun dikemukakan
sesuai konteks turunnya ayat, serta mempunyai makna tersendiri
berkaitan   dengan   sikap   atau   pandangan   para   sahabat
--sebagaimana akan  diutarakan  kemudian--  namun,  dari  segi
pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut
sengaja dikemukakan agar ketiganya  menghiasi  diri  Nabi  dan
setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan
satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni
kebulatan  tekad  untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan
dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut sebagian  terbaca  pada
ayat Ali 'Imran di atas.
 
Pertama, adalah sikap lemah lembut.
 
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin,
harus  menghindari  tutur  kata  yang  kasar serta sikap keras
kepala, karena jika tidak, mitra  musyawarah  akan  bertebaran
pergi. Petunjuk ini dikandung oleh frase,
 
     Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras,
     niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
 
Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam  ayat  di
atas disebutkan sebagai fa'fu anhum (maafkan mereka).
 
Maaf,  secara  harfiah,  berarti "menghapus". Memaafkan adalah
menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain  yang
dinilai  tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa
pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir  bersamaan
dengan sirnanya kekeruhan hati.
 
Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental
untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika
bermusyawarah   terjadi   perbedaan   pendapat,   atau  keluar
kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal  itu
masuk  ke  dalam  hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh
jadi akan mengubah  musyawarah  menjadi  pertengkaran.  Itulah
kandungan pesan fa'fu anhum.
 
Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa
kecerahan  atau  ketajaman  analisis  saja,  tidaklah   cukup.
William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan,
 
     Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu
     argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat
     mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan
     etika dan nilai-nilai hidup kita.
 
Nah,  jika  demikian,  kita  masih  membutuhkan  "sesuatu"  di
samping  akal. Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah
"indera keenam" sebagaimana filosof dan  psikolog  menamainya,
atau  "bisikan atau gerak hati" seperti kata orang kebanyakan,
atau "ilham, hidayat, dan firasat" menurut nama yang diberikan
agamawan.
 
Tidak   jelas  cara  kerja  "sesuatu"  itu,  karena  datangnya
sekejap, sekadar  untuk  mencampakkan  informasi  yang  diduga
"kebetulan"  oleh  sebagian  orang, dan kepergiannya pun tanpa
izin orang yang dikunjungi.
 
Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang  yang  jiwanya
dihiasi  kesucian,  karena  Allah  tidak  akan memberi hidayat
kepada orang yang berlaku aniaya  (QS  Al-Haqarah  [2]:  258),
kafir  (QS  Al-Baqarah  [2]: 264), bergelimang dosa atau fasik
(QS Al-Ma-idah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS A1
Mu'min  [40]:  28),  pengkhianat  (QS  Yusuf  [12]:  52),  dan
pembohong (QS Al-Zumar [39]: 3).
 
Jika  demikian,  untuk  mencapai  hasil  yang  terbaik  ketika
musyawarah,  hubungan  dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah
sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi  musyawarah  adalah
permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan
oleh pesan surat Ali 'Imran ayat 159  di  atas,  wa  istaghfir
lahum.
 
Pesan  terakhir  Ilahi  di  dalam  konteks  musyawarah  adalah
setelah musyawarah usai, yaitu
 
     Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah
     dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
     orang-orang yang berserah diri.
 
ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH
 
Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat
159  surat  Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal
ini  dengan  mudah  dipahami  dari  redaksi  perintahnya  yang
berbentuk   tunggal.   Namun  demikian,  pakar-pakar  Al-Quran
sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada
semua  orang.  Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh Al-Quran
untuk  bermusyawarah,  padahal  beliau  orang   yang   ma'shum
(terpelihara    dari    dosa    atau    kesalahan),    apalagi
manusia-manusia selain beliau.
 
Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat  dipahami
berlaku  untuk  Semua  orang,  walaupun  redaksinya  ditujukan
kepada Nabi Saw. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin  umat,
yang  berkewajiban  menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh
umat,  sehingga  sejak  semula  kandungannya  telah  ditujukan
kepada mereka semua.
 
Perintah   bermusyawarah  pada  ayat  di  atas  turun  setelah
peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu,  menjelang
pertempuran,   Nabi   mengumpulkan   sahabat-sahabatnya  untuk
memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh  yang  sedang
dalam  perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk
bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar  menghadapi  musuh
yang  datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum
muda yang penuh semangat mendesak agar kaum  Muslim  di  bawah
pimpinan  Nabi  Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka
itu  memperoleh  dukungan  mayoritas,   sehingga   Nabi   Saw.
menyetujuinya.  Tetapi,  peperangan  berakhir  dengan gugurnya
tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Saw.
 
Konteks turunnya  ayat  ini,  serta  kondisi  psikologis  yang
dialami  Nabi  Saw.  dan  sahabat beliau setelah turunnya ayat
ini,  amat  perlu  digarisbawahi   untuk   melihat   bagaimana
pandangan Al-Quran tentang musyawarah.
 
Ayat   ini   seakan-akan   berpesan  kepada  Nabi  Saw.  bahwa
musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun
terbukti   pendapat   yang   pernah  mereka  putuskan  keliru.
Kesalahan  mayoritas  lebih  dapat  ditoleransi  dan   menjadi
tanggung   jawab   bersama,   dibandingkan   dengan  kesalahan
seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
 
Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan:
 
     "Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk [kepada
     Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga
     akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah."
MUSYAWARAH                                               (2/2)
 
LAPANGAN MUSYAWARAH
 
Apakah  Al-Quran  memberikan  kebebasan  melakukan  musyawarah
untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak.
 
Ayat  Ali  'Imran  di  atas, yang menyuruh Nabi Saw. melakukan
musyawarah,  menggunakan  kata  al-amr:  ketika  memerintahkan
bermusyawarah  (syawirhum  fil amr) yang diterjemahkan penulis
dengan "persoalan/urusan tertentu".  Sedangkan  ayat  Al-Syura
menggunakan  kata  amruhun  yang  terjemahannya adalah "urusan
mereka".
 
Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan  dan
sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur
tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya:
 
     Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Ruh
     adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85).
 
Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya  bentuk
yang  ditujukan  kepada  orang  kedua seperti dalam QS Al-Kahf
[18]: 16.
 
     Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu,
     dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam
     urusan kamu (QS Al-Kahf [18]: 16).
 
Atau ada juga yang dinisbahkan  kepada  orang  ketiga  seperti
dalam  surat  Al-Syura  yang  sedang  dibicarakan  ini (urusan
mereka).
 
Sebagaimana ada juga kata "amr"  yang  tidak  dinisbahkan  itu
yang   berbentuk   indefinitif,  sehingga  secara  umum  dapat
dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah
(2): 117.
 
     Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya
     berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]:
     117).
 
Sedangkan yang berbentuk definitif, maka  pengertiannya  dapat
mencakup  semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana
surat Al-Isra' ayat 85  yang  mengkhususkan  hal-hal  tertentu
sebagai  urusan  Allah.  Bahkan Al-Quran surat Ali 'Imran ayat
128 secara tegas menafikan pula  urusan-urusan  tertentu  dari
wewenang Nabi Saw.,
 
     Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka
     (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa
     mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang
     yang berlaku aniaya (QS Ali 'Imran [3]: l28).
 
Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi Saw. ketika beliau
dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah
akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah
Nabi  Saw. dengan darah"? Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa
ayat ini turun untuk menegur Nabi Saw. yang mengharapkan  agar
Tuhan  menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang
1ain.
 
Betapapun,  dari  ayat-ayat  Al-Quran,  tampak  jelas   adanya
hal-hal  yang  merupakan  urusan Allah semata sehingga manusia
tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada  juga  urusan
yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.
 
Dalam   konteks  ketetapan  Allah  dan  ketetapan  Rasul  yang
bersumber dari wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas:
 
     Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah,
     apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
     hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
     urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36).
 
As-Sunnah juga  menginformasikan  bahwa  sahabat-sahabat  Nabi
Saw.  menyadari  benar  hal  tersebut,  sehingga  mereka tidak
mengajukan saran terhadap hal-hal yang  telah  mereka  ketahui
bersumber  dari  petunjuk  wahyu.  Umpamanya, ketika Nabi Saw.
memilih   suatu   lokasi   untuk   pasukan   Islam   menjelang
berkecamuknya  perang  Badar,  sahabat  beliau  Al-Khubbab bin
Al-Munzir yang memiliki  pandangan  berbeda  tidak  mengajukan
usulnya kecuali setelah bertanya:
 
   + "Apakah ini tempat yang ditujukan untuk engkau pilih,
     ataukah ini berdasarkan nalarmu, strategi perang, dan
     tipu muslihat?" tanya Al-Khubbab.

   - "Tempat ini adalah pilihan berdasar nalar, strategi
     perang, dan tipu muslihat," jawab Nabi Saw.
 
Mendengar jawaban  itu,  barulah  Al-Khubbab  mengajukan  usul
untuk  memilih  lokasi  lain di dekat sumber air, dan kemudian
disetujui oleh Nabi Saw. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hakim.
 
Ketika terjadi perundingan Hudaibiyah, sebagian besar  sahabat
Nabi  Saw.  terutama  Umar  bin  Khaththab,  amat  berat  hati
menerima  rinciannya,  namun  semuanya  terdiam  ketika   Nabi
bersabda. "Aku adalah Rasulullah Saw."
 
Sebagian  pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya
untuk yang berkaitan  dengan  urusan  dunia,  bukan  persoalan
agama.  Pakar  yang  lain memperluas hingga membenarkan adanya
musyawarah di samping untuk urusan dunia, juga untuk  sebagian
masalah  keagamaan.  Alasannya, karena dengan adanya perubahan
sosial,   sebagian   masalah   keagamaan   belum    ditentukan
penyelesaiannya di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi Saw.
 
Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada
petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas,  baik  langsung
maupun  melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti
misalnya tata cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan  pada
hal-hal    yang    belum    ditentukan    petunjuknya,   serta
persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik  yang  petunjuknya
bersifat  global  maupun  tanpa  petunjuk  dan  yang mengalami
perkembangan dan perubahan.
 
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan  urusan
masyarakat  dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan
sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi  bahwa  beliau
pun  bermusyawarah  (meminta  saran  dan  pendapat)  di  dalam
beberapa persoalan pribadi atau  keluarga.  Salah  satu  kasus
keluarga   yang   beliau  musyawarahkan  adalah  kasus  fitnah
terhadap  istri  beliau  Aisyah  r.a.  yang  digosipkan  telah
menodai   kehormatan   rumah  tangga.  Ketika  gosip  tersebut
menyebar,  Rasulullah  Saw.  bertanya  kepada   sekian   orang
sahabat/keluarganya.
 
Walhasil,  kita  dapat  menyimpulkan  bahwa  musyawarah  dapat
dilakukan untuk segala masalah yang  belum  terdapat  petunjuk
agama  secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan
kehidupan duniawi.
 
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan
ibadah,   tidak   dapat   dimusyawarahkan.   Bagaimana   dapat
dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia  tidak
dan belum sampai ke sana?
 
BERMUSYAWARAH DENGAN SIAPA?
 
Persoalan  yang  dimusyawarahkan  barangkali  merupakan urusan
pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum.  Dalam  ayat
pertama  tentang  musyawarah  di atas, Nabi Saw. diperintahkan
bermusyawarah dengan "mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka
yang  dipimpin  oleh  Nabi  Saw., yakni yang disebut umat atau
anggota masyarakat.
 
Sedangkan ayat yang lain menyatakan,
 
     Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (QS Syura
     [42]: 38).
 
Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang  khusus
berkaitan   dengan   masyarakat  sebagai  satu  unit.  Tetapi,
sebagaimana  yang  dipraktekkan  oleh  Nabi  Saw.   dan   para
sahabatnya,  tidak  tertutup  kemungkinan memperluas jangkauan
pengertiannya sehingga  mencakup  persoalan  individu  sebagai
anggota masyarakat.
 
Ayat-ayat  musyawarah  yang  dikutip  di atas tidak menetapkan
sifat-sifat  mereka  yang  diajak  bermusyawarah,  tidak  juga
jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama,
diperoleh informasi tentang sifat-sifat  umum  yang  hendaknya
dimiliki  oleh  yang  diajak  bermusyawarah.  Satu dari sekian
riwayat menyatakan bahwa Rasul  Saw.  pernah  berpesan  kepada
Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
 
     Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena
     dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang
     kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga
     tidak dengan yang berambisi, karena dia akan
     memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai
     Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan
     yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk
     terhadap Allah.
 
Imam Ja'far Ash-Shadiq pun berpesan,
 
     Bermuyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan
     seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada,
     pengalaman, perhatian, dan takwa.
 
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan  masyarakat,
praktek  yang  dilakukan  Nabi  Saw.  cukup beragam. Terkadang
beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang
yang  dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka
masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua  yang  terlibat  di
dalam masalah yang dihadapi.
 
Sebagian  pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang
yang terlibat di dalamnya  ketika  mereka  menafsirkan  firman
Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'(4): 59:
 
     Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
     taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amr di antara kamu.
     Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal,
     kembalikanlah kepada (jiwa ajaran) Allah (Al-Quran) dan
     (jiwa ajaran) Rasul (sunnahnya). Yang demikian itu
     lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS
     Al-Nisa [4]: 59).
 
Dalam ayat itu terdapat kalimat u1u1 amr,  yang  diperintahkan
untuk ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang
disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Syura  ayat  38  (persoalan
atau  urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya
tidak  mudah  melibatkan  seluruh  anggota  masyarakat   dalam
musyawarah  itu,  tetapi  keterlibatan mereka dapat diwujudkan
melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka,  yang  oleh
para  pakar  diberi  nama  berbeda-beda  sekali  Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd, dikali lain  Ahl  Al-Ijtihad,  dan  kali  ketiga  Ahl
Al-Syura.
 
Dapat  disimpulkan  bahwa Ahl Al-Syura merupakan istilah umum,
yang kepada mereka para penguasa  dapat  meminta  pertimbangan
dan  saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci
dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung  pada  persoalan  apa
yang sedang dimusyawarahkan.
 
Sebagian  pakar  kontemporer  memahami  istilah  Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di  tengah
masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat
atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat  pada  hal
yang sama.
 
Muhammad  Abduh  memahami  Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang
yang  menjadi   rujukan   masyarakat   untuk   kebutuhan   dan
kepentingan  umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun
non-formal, sipil maupun militer.
 
Adapun Ahl Al-Ijtihad adalah kelompok ahli dan para  teknokrat
dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.
 
SYURA DAN DEMOKRASI
 
Al-Quran   dan   Sunnah   menetapkan  beberapa  prinsip  pokok
berkaitan  dengan   kehidupan   politik,   seperti   al-syura,
keadilan,   tanggung   jawab,  kepastian  hukum,  jaminan  haq
al-'ibad (hak-hak manusia),  dan  lain-lain,  yang  kesemuanya
memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.
 
Apabila  kita  bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi,
tentunya perlu juga dijelaskan  apa  yang  disebut  demokrasi.
Namun,  untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi
yang beraneka ragam, dapat dikatakan  bahwa  manusia  mengenal
tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat, yaitu:
 
  1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.

  2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
     minoritas.

  3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
     mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum
     demokrasi.
 
Syura yang  diwajibkan  oleh  Islam  tidak  dapat  dibayangkan
berwujud   seperti  bentuk  pertama,  karena  hal  itu  justru
menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai  dengan
makna syura, sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang
mengalahkan pandangan mayoritas?
 
Memang ada  sebagian  pakar  Islam  kontemporer  yang  menolak
kewenangan mayoritas berdasar firman Allah:
 
     Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun
     banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu (QS
     Al-Ma-idah [51: 100).
 
Dan firman Allah:
 
     Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran (QS
     Al-Zukhruf [43]: 78).
 
Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena  ayat-ayat  itu
bukan  berbicara  dalam  konteks  musyawarah  melainkan  dalam
konteks petunjuk Ilahi yang diberikan  kepada  para  Nabi  dan
ditolak  oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu.
Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap  masyarakat  Makkah
ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataannya dewasa ini.
 
Namun  demikian,  walaupun  syura  di  dalam Islam membenarkan
keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut  sementara  pakar
ia  tidaklah  mutlak.  Demikian  Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad,
seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar  la
Muwayahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud
adalah bahwa keputusan  janganlah  langsung  diambil  berdasar
pandangan   mayoritas   setelah   melakukan  sekali  dua  kali
musyawarah, tetapi  hendaknya  berulang-ulang  hingga  dicapai
kesepakatan.
 
Ini  karena  syura  dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang
memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki  kepentingan
pribadi   atau  golongan,  dan  dilaksanakan  sewajarnya  agar
disepakati bersama. Sekalipun ada di antara mereka yang  tidak
menerima   keputusan,   itu   dapat  menjadi  indikasi  adanya
sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran orang-orang
pilihan   walaupun  mereka  minoritas,  sehingga  masih  perlu
dibicarakan  lebih  lanjut  agar   mencapai   mufakat   (untuk
menemukan "madu" atau yang terbaik).
 
Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam
dengan demokrasi secara umum.
 
Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan  mufakat,
dan  tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas,
saat itu dapat dikatakan bahwa kedua  pandangan  masing-masing
baik,  tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama
diajarkan apabila terdapat dua pilihan  yang  sama-sama  baik,
pilihlah  yang  lebih  banyak  sisi baiknya, dan jika keduanya
buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.
 
Dari  segi  implikasi  pengangkatan  pimpinan,  terdapat  juga
perbedaan.   Walaupun   keduanya   --syura   dan   demokrasi--
menetapkan bahwa pimpinan  diangkat  melalui  kontrak  sosial,
namun  syura  di  dalam Islam mengaitkannya dengan "Perjanjian
Ilahi". Ini diisyaratkan oleh Al-Quran dalam firman-Nya ketika
mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam
 
     Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
     Imam (pemimpin) bagi manusia." Ibrahim berkata, "Saya
     bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga
     kepada sebagian keturunanku." Dia (Allah) berfirman,
     "Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim"
     (QS Al-Baqarah [2]: 124)
 
Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam  demokrasi
sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi
dalam syura  yang  diajarkan  Islam,  tidak  dibenarkan  untuk
memusyawarahkan  segala  sesuatu  yang  telah ada ketetapannya
dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak  pula  dibenarkan
menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
Ilahi.
 
                              ***
 
Demikian  sekilas  mengenai  wawasan   musyawarah   di   dalam
Al-Quran.   Agaknya   dapat   disimpulkan,   bahwa  musyawarah
diperintahkan oleh Al-Quran, serta dinilai sebagai salah  satu
prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.
 
Namun  demikian,  Al-Quran  tidak merinci atau meletakkan pola
dan bentuk  musyawarah  tertentu.  Paling  tidak,  yang  dapat
disimpulkan  dari  teks-teks  Al-Quran  hanyalah  bahwa  Islam
menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam  urusan  yang
berkaitan  dengan  mereka.  Perincian  keterlibatan, pola, dan
caranya diserahkan  kepada  masing-masing  masyarakat,  karena
satu  masyarakat  dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan
masyarakat tertentu dapat  mempunyai  pandangan  berbeda  dari
suatu masa ke masa yang lain.
 
Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap
masyarakat  untuk   menyesuaikan   sistem   syura-nya   dengan
kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.
 
Mengikat  diri  atau  masyarakat  kita  dengan fatwa ulama dan
pakar-pakar masa lampau, bahkan  pendapat  para  sahabat  Nabi
Saw.  dalam  persoalan  syura,  atau  pandangan dan pengalaman
masyarakat lain,  serta  membatasi  diri  dengan  istilah  dan
pengertian   tertentu,   bukanlah  sesuatu  yang  tepat,  baik
ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.
 
Memang setiap masyarakat di setiap masa  memiliki  budaya  dan
kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai
pandangan dan jalan yang  berbeda-beda.  Hakikat  ini  agaknya
merupakan salah satu kandungan makna firman Allah.
 
     Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan
     aturan dan jalan yang terang (QS Al-Maidah [5]: 48).
 
Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.[]

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Andy